Neraca air (water balance) merupakan neraca masukan dan keluaran air disuatu
tempat pada periode tertentu, sehingga dapat untuk mengetahui seberapa besar jumlah
air tersebut kelebihan (surplus) ataupun kekurangan (defisit). Perlunya
untuk mengetahui kondisi air berlebih atau kekurangan digunakan untuk
mengantisipasi bencana yang kemungkinan terjadi, serta dapat pula untuk mendayagunakan
air seoptimal mungkin (Moghadas, 2009).
Perhitungan neraca air didasarkan pada
hubungan antara pasokan air (input) dan luaran (output) dari suatu wilayah
dalam jangka waktu tertentu. Karena itulah neraca air dapat dipakai untuk
mengidentifikasi sumber-sumber air dan penggunaan air di wilayah dalam periode
waktu tertentu. Untuk menghitung neraca air menggunakan Metode Thornthwaite,
diperlukan input data meliputi: curah hujan, temperatur (suhu udara),
penguapan, data tutupan lahan dan kondisi soil hasil pengamatan lapangan. Curah
hujan merupakan satu-satunya komponen input sedangkan evapotranspirasi,
limpasan dan air masuk dalam tanah berada di sisi output (Sebhat, 2014)
Manfaat secara umum yang dapat diperoleh
dari analisis neraca air antara lain:
1. Digunakan
sebagai dasar pembuatan bangunan penyimpana dan pembagi air serta
saluran-salurannya. Hal ini terjadi jika hasil analisis neraca air didapat
banyak bulan-bulan yang defisit air.
2. Sebagai
dasar pembuatan saluran drainase dan teknik pengendalian banjir. Hal ini
terjadi jika hasil analisis neraca air didapat banyak bulan-bulan yang surplus
air.
3. Sebagai
dasar pemanfaatan air alam untuk berbagai keperluan pertanian seperti tanaman
pangan hortikultura, perkebunan, kehutanan hingga perikanan.
Model neraca air
cukup banyak, namun yang biasa dikenal terdiri dari tiga model, antara lain:
1.
Model
Neraca Air Umum.
Model ini menggunakan
data-data klimatologi dan bermanfaat untuk mengetahui berlangsungnya
bulan-bulan basah (jumlah curah hujan melebihi kehilangan air untuk penguapan
dari permukaan tanah atau evaporasi maupun penguapan dari sistem tanaman atau
transpirasi, penggabungan keduanya atau dikenal sebagai evapotranspirasi).
2.
Model
Neraca Air Lahan.
Model ini
merupakan penggabungan data-data klimatologi dengan data-data tanah terutama
data kadar air pada Kapasitas Lapang (KL), kadar air tanah pada Titik Layu
Permanen (TLP), dan Air Tersedia (WHC = Water
Holding Capacity).
a. Kapasitas
lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan jumlah air
terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi. Air yang
dapat ditahan tanah tersebut akan terus-menerus diserap akar tanaman atau
menguap sehingga tanah makin lama makin kering. Pada suatu saat akar tanaman
tidak lagi mampu menyerap airsehingga tanaman menjadi layu. Kandungan air pada
kapasitas lapang diukur pada tegangan 1/3 bar atau 33 kPa atau pF 2,53 atau 346
cm kolom air.
b. Titik
layu permanen adalah kondisi kadar air tanah dimana akar-akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah, sehingga
tanaman layu. Tanaman akan tetap layu pada siang atau malam hari. Kandungan air
pada titik layu permanen diukur pada tegangan 15 bar atau 1.500 kPa atau pF
4,18 atau 15.849 cm tinggi kolom air.
c. Air tersedia adalah banyaknya air yang tersedia bagi
tanaman yaitu selisih antara kapasitas lapang dan titik layu permanen.
3. Model Neraca Air Tanaman.
Model ini
merupakan penggabungan data klimatologi, data tanah, dan data tanaman. Neraca
air ini dibuat untuk tujuan khusus pada jenis tanaman tertentu. Data tanaman
yang digunakan adalah data koefisien tanaman pada komponen keluaran dari neraca
air. Neraca air adalah gambaran potensi
dan pemanfaatan sumberdaya air dalam periode tertentu. Dari neraca air ini
dapat diketahui potensi sumberdaya air yang masih belum dimanfaatkan dengan
optimal.
Untuk
menafsirkan secara kuantitatif siklus hidrologi dapat dicapai dengan persamaan
umum yang dikenal dengan persamaan neraca ir, yaitu bahwa dalam selang waktu
tertentu, masukan air total pada suatu ruang tertentu harus sama dengan keluran
total ditambah perubahan bersih dalam cadangan (Seyhan, 1993). Neraca hidrologi
dari suatu wilayah dapat ditulis sebagai berikut : Perolehan (Input) = Keluaran
(output) + simpanan.
P =
(R ‐ G ‐ E ‐ T) + ∆S (1)
Dengan :
P
= Curah hujan (mm/hari)
R
= Aliran permukaan
G
= Air Tanah
E
= Evaporasi
T
= Transpirasi
∆S
= Perubahan simpanan.
Thornhtwaite dan Mather (1957) membuat persamaan yang
sederhana menggunakan input hanya dari curah hujan saja. Pada metode ini semua
aliran masuk dan keluar air serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada
lokasi dengan kondisi tanaman tertentu digunakan untuk mendapatkan besarnya
kadar air tanah, kehilangan air, surplus, dan defisit. Persamaan yang digunakan
dapat dilihat dibawah ini:
Dimana:
CH
= Curah hujan (mm).
ETP
= Evapotranspirasi.
∆
KAT = Perubahan kandungan air tanah.
Ro = Aliran permukaan (mm).
Prosedur perhitungan neraca air menurut Thornthwaite and
Mather (1957) menggunakan sistem tata buku yaitu dengan membuat sebuah tabel
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengisi
curah hujan (CH)
2. Mengisi kolom evapotranspirasi potensial (ETP)
3. APML
(Accumulation of Potensial Water Loss).
Nilai
APWL merupakan akumulasi CH-ETP dari waktu ke waktu. Akumulasi air yang hilang
secara potensial ini akan menentukan kandungan air tanah pada saat curah hujan
lebih kecil dari evapotranspirasi potensial.
4. Kadar
air tanah.
Kandungan
air tanah dapat maksimum pada suatu periode dimana CH-ETP bernilai
positif. Sedangkan apabila
CH-ETP bernilai negatif maka kandungan air tanah akan ditentukan:
Dimana:
5.
KAT
(Perubahan Kandungan Air Tanah)
Perubahan
kandungan air tanah merupakan selisih kandungan air tanah antara satu periode
dengan periode sebelumnya secara berurutan. Nilai dKAT yang positif menunjukkan
terjadinya penambahan kandungan air tanah. Penambahan ini akan terhenti setelah
kapasitas lapang terpenuhi.
6. ETA
(Evapotranspirasi Aktual)
Bila curah hujan lebih besar dari nilai
evapotranspirasi maka nilai ETA sama dengan nilai ETP. Namun bila curah hujan jauh
lebih kecil dari nilai ETP maka tanah akan mulai mengering dan ETA menjadi
lebih rendah dari nilai potensialnya. Pada kondisi ini maka nilai ETA akan sama dengan nilai CH
+
KAT.
7. Defisit
Defisit
berarti berkurangnya air untuk keperluan evapotranspirasi potensial sehingga
defisit air adalah perbedaan atau selisih antara nilai ETP dan ETA. Nilai
defisit merupakan jumlah air yang perlu ditambahkan untuk memenuhi keperluan
ETP tanaman.
8. Surplus
Setelah
simpan air mencapai kapasitas lapang maka kelebihan curah hujan akan dihitung
sebagai surplus. Air ini merupakan kelebihan setelah air tanah terisi kembali.
Dengan demikian surplus dihitung sebagai nilai curah hujan dikurangi dengan
nilai ETP dan perubahan kadar air tanah (CH – ETP -
KAT).
Sumber :
Moghadas, S. 2009. Long-term
Water Balance of an Inland River Basin in an Arid Area, North-Western China, Master of Science
Thesis in Water Resources Division of Water Resources Lund Institute of
Technology. Lund University. Sweden.
Sebhat, M. Y., 2014. Water balance of the Juba and Shabelle Rivers in Ethiopia-Somalia. International
Research Journal of Agricultural Science and Soil Science, 4 (4), 65-75, DOI:
10.14303/ irjas.2014.027.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar