Senin, 01 Oktober 2018

Neraca Air


Neraca air (water balance) merupakan neraca masukan dan keluaran air disuatu tempat pada periode tertentu, sehingga dapat untuk mengetahui seberapa besar jumlah air tersebut kelebihan (surplus) ataupun kekurangan (defisit).  Perlunya untuk mengetahui kondisi air berlebih atau kekurangan digunakan untuk mengantisipasi bencana yang kemungkinan terjadi, serta dapat pula untuk mendayagunakan air seoptimal mungkin (Moghadas, 2009).

Perhitungan neraca air didasarkan pada hubungan antara pasokan air (input) dan luaran (output) dari suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Karena itulah neraca air dapat dipakai untuk mengidentifikasi sumber-sumber air dan penggunaan air di wilayah dalam periode waktu tertentu. Untuk menghitung neraca air menggunakan Metode Thornthwaite, diperlukan input data meliputi: curah hujan, temperatur (suhu udara), penguapan, data tutupan lahan dan kondisi soil hasil pengamatan lapangan. Curah hujan merupakan satu-satunya komponen input sedangkan evapotranspirasi, limpasan dan air masuk dalam tanah berada di sisi output (Sebhat, 2014)

Manfaat secara umum yang dapat diperoleh dari analisis neraca air antara lain:
1.  Digunakan sebagai dasar pembuatan bangunan penyimpana dan pembagi air serta saluran-salurannya. Hal ini terjadi jika hasil analisis neraca air didapat banyak bulan-bulan yang defisit air.
2.    Sebagai dasar pembuatan saluran drainase dan teknik pengendalian banjir. Hal ini terjadi jika hasil analisis neraca air didapat banyak bulan-bulan yang surplus air.
3.    Sebagai dasar pemanfaatan air alam untuk berbagai keperluan pertanian seperti tanaman pangan hortikultura, perkebunan, kehutanan hingga perikanan.

Model neraca air cukup banyak, namun yang biasa dikenal terdiri dari tiga model, antara lain:

1.      Model Neraca Air Umum.
Model ini menggunakan data-data klimatologi dan bermanfaat untuk mengetahui berlangsungnya bulan-bulan basah (jumlah curah hujan melebihi kehilangan air untuk penguapan dari permukaan tanah atau evaporasi maupun penguapan dari sistem tanaman atau transpirasi, penggabungan keduanya atau dikenal sebagai evapotranspirasi).

2.      Model Neraca Air Lahan.
Model ini merupakan penggabungan data-data klimatologi dengan data-data tanah terutama data kadar air pada Kapasitas Lapang (KL), kadar air tanah pada Titik Layu Permanen (TLP), dan Air Tersedia (WHC = Water Holding Capacity).
a.  Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi. Air yang dapat ditahan tanah tersebut akan terus-menerus diserap akar tanaman atau menguap sehingga tanah makin lama makin kering. Pada suatu saat akar tanaman tidak lagi mampu menyerap airsehingga tanaman menjadi layu. Kandungan air pada kapasitas lapang diukur pada tegangan 1/3 bar atau 33 kPa atau pF 2,53 atau 346 cm kolom air.
b.   Titik layu permanen adalah kondisi kadar air tanah dimana akar-akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah, sehingga tanaman layu. Tanaman akan tetap layu pada siang atau malam hari. Kandungan air pada titik layu permanen diukur pada tegangan 15 bar atau 1.500 kPa atau pF 4,18 atau 15.849 cm tinggi kolom air.
c.   Air tersedia adalah banyaknya air yang tersedia bagi tanaman yaitu selisih antara kapasitas lapang dan titik layu permanen.

3.      Model Neraca Air Tanaman.
Model ini merupakan penggabungan data klimatologi, data tanah, dan data tanaman. Neraca air ini dibuat untuk tujuan khusus pada jenis tanaman tertentu. Data tanaman yang digunakan adalah data koefisien tanaman pada komponen keluaran dari neraca air. Neraca air adalah gambaran potensi dan pemanfaatan sumberdaya air dalam periode tertentu. Dari neraca air ini dapat diketahui potensi sumberdaya air yang masih belum dimanfaatkan dengan optimal.

Untuk menafsirkan secara kuantitatif siklus hidrologi dapat dicapai dengan persamaan umum yang dikenal dengan persamaan neraca ir, yaitu bahwa dalam selang waktu tertentu, masukan air total pada suatu ruang tertentu harus sama dengan keluran total ditambah perubahan bersih dalam cadangan (Seyhan, 1993). Neraca hidrologi dari suatu wilayah dapat ditulis sebagai berikut : Perolehan (Input) = Keluaran (output) + simpanan.

P = (R ‐ G ‐ E ‐ T) + ∆S                                              (1)

Dengan :
P = Curah hujan (mm/hari)
R = Aliran permukaan
G = Air Tanah
E = Evaporasi
T = Transpirasi
∆S = Perubahan simpanan.

Thornhtwaite dan Mather (1957) membuat persamaan yang sederhana menggunakan input hanya dari curah hujan saja. Pada metode ini semua aliran masuk dan keluar air serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi dengan kondisi tanaman tertentu digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah, kehilangan air, surplus, dan defisit. Persamaan yang digunakan dapat dilihat dibawah ini:

                        CH = ETP + delta KAT + Ro                 (2)

Dimana:                      
CH          = Curah hujan (mm).
ETP        = Evapotranspirasi.
∆ KAT   = Perubahan kandungan air tanah.
Ro          = Aliran permukaan (mm).

Prosedur perhitungan neraca air menurut Thornthwaite and Mather (1957) menggunakan sistem tata buku yaitu dengan membuat sebuah tabel dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Mengisi curah hujan (CH)
2.      Mengisi kolom evapotranspirasi potensial (ETP)
3.      APML (Accumulation of Potensial Water Loss).
Nilai APWL merupakan akumulasi CH-ETP dari waktu ke waktu. Akumulasi air yang hilang secara potensial ini akan menentukan kandungan air tanah pada saat curah hujan lebih kecil dari evapotranspirasi potensial.
4.      Kadar air tanah.
Kandungan air tanah dapat maksimum pada suatu periode dimana CH-ETP bernilai positif. Sedangkan apabila CH-ETP bernilai negatif maka kandungan air tanah akan ditentukan:
Dimana:
5.    KAT (Perubahan Kandungan Air Tanah)
Perubahan kandungan air tanah merupakan selisih kandungan air tanah antara satu periode dengan periode sebelumnya secara berurutan. Nilai dKAT yang positif menunjukkan terjadinya penambahan kandungan air tanah. Penambahan ini akan terhenti setelah kapasitas lapang terpenuhi.
6.      ETA (Evapotranspirasi Aktual)
Bila curah hujan lebih besar dari nilai evapotranspirasi maka nilai ETA sama dengan nilai ETP. Namun bila curah hujan jauh lebih kecil dari nilai ETP maka tanah akan mulai mengering dan ETA menjadi lebih rendah dari nilai potensialnya. Pada kondisi ini maka nilai ETA akan sama dengan nilai CH +  KAT.
7.      Defisit
Defisit berarti berkurangnya air untuk keperluan evapotranspirasi potensial sehingga defisit air adalah perbedaan atau selisih antara nilai ETP dan ETA. Nilai defisit merupakan jumlah air yang perlu ditambahkan untuk memenuhi keperluan ETP tanaman.
8.      Surplus
Setelah simpan air mencapai kapasitas lapang maka kelebihan curah hujan akan dihitung sebagai surplus. Air ini merupakan kelebihan setelah air tanah terisi kembali. Dengan demikian surplus dihitung sebagai nilai curah hujan dikurangi dengan nilai ETP dan perubahan kadar air tanah (CH – ETP - KAT).

Sumber :
Moghadas, S. 2009. Long-term Water Balance of an Inland River Basin in an Arid Area, North-Western China, Master of Science Thesis in Water Resources Division of Water Resources Lund Institute of Technology. Lund University. Sweden.
Sebhat, M. Y., 2014. Water balance of the Juba and Shabelle Rivers in Ethiopia-Somalia. International Research Journal of Agricultural Science and Soil Science, 4 (4), 65-75, DOI: 10.14303/ irjas.2014.027.

Debit Andalan Metode F.J. Mock


Debit andalan adalah debit yang tersedia sepanjang tahun dengan besar resiko kegagalan tertentu yang dapat dipakai untuk keperluan seperti irigasi, air minum, PLTA, dan lain sebagainya. Perhitungan ketersediaan air atau debit andalan diperlukan untuk perhitungan neraca air sehingga dapat diketahui kemampuan air mengairi areal layanan.

Analisa debit andalan dilakukan dengan pendekatan berbeda-beda tergantung dari data yang tersedia sebagaimana di jelaskan seperti di bawah ini:
1.     Jika terdapat pencatatan debit yang panjang, debit andalan dihitung berdasarkan data debit dengan menggunakan probabilitas keberhasilan 80%.
2.   Jika terdapat pencatatan debit tetapi hanya dalam periode pendek, maka debit andalan dihitung berdasarkan data curah hujan, akan tetapi parameter yang digunakan dikalibrasi terhadap data debit yang ada.
3.   Jika tidak terdapat pencatatan debit, maka debit andalan dihitung berdasarkan data curah hujan dihitung dengan menggunakan metode F.J.Mock.

Menurut tahun pengamatan yang diperoleh, harus diurut dari yang terbesar sampai yang terkecil. Kemudian dihitung tingkat keandalan debit tersebut dapat terjadi, berdasarkan probabilitas kejadian mengikuti rumus Weibull (Soemarto, 1995).

     P = m / (n+1) x 100%                                        (1)

Dengan:
P = Probabilitas terjadinya kumpulan nilai yang diharapkan selama periode pengamatan.
m = Nomor urut kejadian, dengan urutan data dari besar ke kecil.
n = Jumlah data.

Metode Mock dikembangkan oleh Dr. F.J. Mock untuk memperkirakan besarnya debit suatu daerah aliran sungai berdasarkan konsep water balance. Data yang dibutuhkan dalam perhitungan metode ini antara lain adalah hujan bulanan rata-rata (mm), jumlah hari hujan bulanan rata-rata (hari), evapotranspirasi, limpasan permukaan, tampungan tanah dan aliran dasar (base flow). Air hujan yang jatuh (precipitation) akan mengalami evapotranspirasi sesuai dengan vegetasi yang menutupi daerah tangkapan hujan. Evapotranspirasi yang dipengaruhi oleh jenis vegetasi, permukaan tanah dan jumlah hari hujan.

Proses perhitungan dan asumsi yang dilakukan dalam metode Mock (Soemarto, 1995) adalah sebagai berikut:
1.      Perhitungan evapotranspirasi aktual (Ea)/evapotranspirasi terbatas (Et).
Evapotranspirasi aktual dihitung dari evaporasi potensial metode Penman (ETo). Hubungan antara evaporasi potensial dengan evapotranspirasi aktual dihitung dengan rumus:

Ea = ETo - ∆E → (Ea = Et)                                        (2)
∆E = ETo x (m/20) x (18-n) → (E = ∆E)                   (3)
Dengan :
Ea     = Evapotranspirasi aktual (mm/hari)
Et      = Evapotranspirasi terbatas (mm/hari)
ETo  = Evaporasi potensial metode Penman (mm/hari)
m      = Presentase lahan yang tidak tertutup tanaman
m      = 0 untuk lahan dengan hutan lebat
m    = 0 untuk lahan dengan hutan sekunder pada akhir musim hujan dan  bertambah 10% setiap bulan kering berikutnya.
m      = 10 – 40% untuk lahan yang tererosi
m       = 30 – 50% untuk lahan pertanian yang diolah (misal: sawah dan ladang)
n       = Jumlah hari hujan dalam sebulan.

2.      Keseimbangan air dipermukaan tanah.
a.       Air hujan yang mencapai permukaan tanah dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ds = P – Et                                                      (4)

Dengan :
Ds   = Air hujan yang mencapai permukaan tanah (mm/hari)
P     = Curah hujan (mm/hari)
Et    = Evapotranspirasi terbatas (mm/hari)

b.   Bila harga Ds positif (P > Et) maka air akan masuk ke dalam tanah bila kapasitas kelembaban tanah belum terpenuhi, dan sebaliknya akan melimpas bila kondisi tanah jenuh. Bila harga Ds negatif (P < Et), sebagian air tanah akan keluar dan terjadi kekurangan (defisit). P = curah hujan
c.   Perubahan kandungan air tanah (soil storage) tergantung dari harga Ds. Bila harga Ds negatif maka kapasitas kelembaban tanah akan berkurang dan bila Ds positif akan menambah kekurangan kapasitas kelembaban tanah bulan sebelumnya.
d.      Kapasitas kelembaban tanah (soil moisture capacity)
Perkiraan kapasitas kelembaban tanah awal diperlukan pada saat dimulainya simulasi dan besarnya tergantung dari kondisi porositas lapisan tanah atas dari daerah pengaliran. Biasanya diambil 50 – 250 mm, yaitu kapasitas kandungan air dalam tanah per m3. Jika porositas tanah lapisan atas tersebut makin besar, maka kapasitas kelembaban tanah akan makin besar pula.

Jika pemakaian model dimulai pada bulan Januari, yaitu pertengahan musim hujan, maka tanah dapat dianggap berada pada kapasitas lapangan (field capacity). Sedangkan jika model dimulai dalam musim kemarau, akan terdapat kekurangan, dan kelembaban tanah awal yang mestinya di bawah kapasitas lapangan.

3.      Limpasan dan penyimpanan air tanah (runoff and groundwater storage)
a.       Koefisien infiltrasi (i)
Koefisien infiltrasi ditaksir berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan daerah pengaliran. Lahan yang porous misalnya pasir halus mempunyai infiltrasi lebih tinggi dibanding tanah lempung berat. Lahan yang terjal dimana air tidak sempat untuk infiltrasi kedalam tanah maka koefisien infiltrasi akan kecil. Batasan koefisien infiltrasi adalah 0 – 1,0.

b.         Penyimpanan air tanah (groundwater storage)
Pada permulaan simulasi harus ditentukan penyimpanan awal (initial storage) yang besarnya tergantung dari kondisi geologi setempat dan waktu. Sebagai contoh, dalam daerah pengaliran kecil yang mana kondisi geologi lapisan bawah adalah tidak tembus air dan mungkin tidak ada air di sungai pada musim kemarau, maka penyimpanan air tanah menjadi nol.
Rumus-rumus yang digunakan :

Vn    = k . Vn-1 + ½ (1 + k) . In                                    (5)
DVn  = Vn - Vn-1                                                                   (6)
Dengan :
Vn          = Volume air tanah bulan ke n
Vn-1           = Volume air tanah bulan ke (n-1)
k             =  qt/qo  = faktor resesi aliran air tanah, harga k berkisar (0 – 1,0)
qt            = Aliran air tanah pada waktu t (bulan ke t)
qo           = Aliran air tanah pada awal (bulan ke 0)
In            = Infiltrasi bulan ke n
D Vn-1     = Perubahan volume aliran air tanah

 c.       Limpasan (runoff)
Aliran dasar : infiltasi dikurangi perubahan volume aliran air dalam tanah.
Limpasan langsung : kelebihan air (water surplus) – infiltrasi.
Limpasan : aliran dasar + limpasan langsung.
Debit andalan : aliran sungai  dinyatakan dalam m3/bulan.

Sumber :
Soemarto, C.D. 1995. Hidrologi Teknik. Erlangga. Jakarta.

Evaporasi Potensial

Evapotranspirasi sangat erat berkaitan dengan kebutuhan air tanaman. Kebutuhan air tanaman adalah sejumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti air yang hilang akibat penguapan. Penguapan dalam hal ini meliputi penguapan dari permukaan air  dan daun-daun tanaman. Bila kedua proses terjadi bersamaan, maka terjadilah evapotranspirasi, yaitu gabungan dari proses penguapan air bebas (evaporasi) dan penguapan melalui tanaman (transpirasi).

Evaporasi potensial (ETo) adalah nilai yang menggambarkan kebutuhan lingkungan, sekumpulan vegetasi, atau kawasan pertanian untuk melakukan evapotranspirasi yang ditentukan oleh beberapa faktor, seperti intensitas penyinaran matahari, kecepatan angin, luas daun, temperatur udara, dan tekanan udara. Evaporasi potensial dipengaruhi oleh iklim dan bergantung pada letak lintang. Dalam menghitung evaporasi potensial banyak metode yang bisa digunakan, salah satu metode untuk menghitung evaporasi potensial yang paling sering dipakai yaitu metode Penman Modifikasi (Soemarto, 1995). Rumus Penman Modifikasi membutuhkan lebih banyak data terukur, yaitu suhu udara bulanan rerata (t, 0C), kelembaban relatif bulanan rerata (RH, %), kecerahan matahari bulanan (n/N, %), kecepatan angin bulanan rerata (u, m/s), dan letak lintang daerah yang ditinjau. Perhitungan ETo berdasarkan rumus Penman di daerah Indonesia adalah sebagai berikut:

ETo     = c x ETo*                                                                               (1)
ETo*   = W (0,75 Rs – Rn1) + (1 – W). f(u). (ea – ed)                       (2)

Dengan :
W       =  Faktor yang berhubungan dengan suhu dan elevasi.
Rs       =  Radiasi gelombang pendek, dalam satuan evaporasi ekivalen (mm/hari)
Rs       =  (0,25 + 0,54 n/N) Ra
Ra       = Radiasi gelombang pendek yang memenuhi batas luas atmosfir atau angka angot (mm/hari)
Rn        =  Radiasi bersih gelombang panjang (mm/hari)
Rn1       =  f(t).f(ed).f(n/N) 
F (t)     =  Fungsi suhu σ . Ta4
f (ed)   =  Fungsi tekanan uap  =  0,34 – (0,044.ed0,5)
f (n/N) =  Fungsi kecerahan matahari  =  0,1 + (0,9.n/N)
f (U)    = Fungsi kecepatan angin pada ketinggian 2 meter (m/dt)
            =  0,27 (1 + 0,864 U)
 (ea-ed)  =  Angka koreksi Penman yang besarnya mempertimbangkan perbedaan cuaca
ed        =  ea . RH
ea        =  Tekanan uap sebenarnya = f (t)
RH      =  Kelembaban udara relatif (%)
         C         =  Angka koreksi Penman yang besarnya mempertimbangkan perbedaan cuaca.

Sumber :

Soemarto, C.D. 1995. Hidrologi Teknik. Erlangga. Jakarta.

Curah Hujan Efektif


Curah hujan efektif adalah curah hujan yang jatuh selama masa tumbuh tanaman, yang dapat digunakan untuk memenuhi air konsumtif tanaman (Sosrodarsono, 1977). Besarnya curah hujan ditentukan dengan 70% dari curah hujan rata-rata tengah bulanan dengan kemungkinan kegagalan 20% ( Curah hujan R80 ). Dengan menggunakan Basic Year dengan rumus :

R80 = n/5 + 1                                                              (1)

Dengan : n = Periode lama pengamatan.

Curah hujan efektif diperoleh dari 70% x R80 per periode waktu pengamatan. Apabila data hujan yang digunakan 10 harian maka persamaannya menjadi :

Re padi = (R80x 70%)/10 mm/hari                            (2)
Re tebu = (R80x60%)/10 mm/hari                             (3)
Re palawija = (R80 x 50%)/10 mm/hari                    (4)


Sumber :

Sosrodarsono, Suyono. (1977). Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita. Jakarta.